Happy weekend Streight Face, Minggu depan akan jadi edisi terakhir untuk newsletter Weekend Produktif, dan saya sudah siap mengakhirinya dengan sebuah newsletter yang positif. Saya masih percaya bahwa kita sedang memasuki fase keemasan di Asia Tenggara, dan Indonesia akan jadi pusatnya. Tapi kita sama-sama tahu bahwa potensi tersebut tak mudah untuk direalisasikan, mengingat apa yang terjadi di 2020. Banyak startup gulung tikar, orang-orang kehilangan pekerjaan, pendapatan berkurang, hingga kehilangan interaksi sosial. Kebanyakan dari kita akan menghabiskan malam tahun baru dengan cara berbeda dari biasanya. Kemungkinan besar hanya di rumah saja, atau bahkan melaluinya sendirian karena tidak bisa pulang dan berkumpul bersama keluarga. Ini adalah kenyataan di penghujung 2020, dan saya ingin lebih berhati-hati dalam menyikapinya. Saya pun melakukan riset cepat, hingga menemukan tentang toxic positivity. Singkatnya, sikap positif berlebihan ternyata bisa berdampak buruk terhadap diri sendiri dan orang lain. Sekilas, ini terdengar tidak masuk akal. Namun saya teringat dengan oxygen toxicity, yaitu keracunan yang terjadi karena terlalu banyak menghirup oksigen. Make sense, apa pun yang berlebihan tidak selalu berarti baik. | | Mengakhiri bulan Desember, saya selalu memiliki beberapa hal untuk dirayakan: - Pertama: libur Natal,
- Kedua: ulang tahun saya, dan
- Terakhir: tahun baru.
Selama bertahun-tahun, Desember selalu jadi bulan favorit saya. Namun sekarang saya bisa mengatakan bahwa tingkat excitement saya sedikit berkurang. Saya memiliki kekhawatiran tersendiri memasuki 2021, dengan pandemi COVID-19 yang belum usai dan kondisi industri secara umum. Apakah wajar bagi saya menyambut akhir tahun dengan sedikit kekhawatiran, sedangkan tampaknya banyak orang mulai bersemangat dengan libur akhir tahun mereka? Beberapa ahli mengatakan ini adalah hal yang wajar, bahkan diperlukan. Menurut CEO dari konsultan bidang sumber daya manusia Gallaher Edge, ketika seseorang mengalami emosi yang negatif--kesedihan, frustrasi, atau keresahan--dan mereka mencoba untuk memaksa dirinya agar tidak merasa demikian (atau berpura-pura merasa berbeda), maka keadaan itu bisa dikatakan sebagai toxic positivity. Melakukan ini terus-menerus bisa membuat kita kelelahan, hingga pada akhirnya "meledak" dan memengaruhi orang-orang sekitar. Bahkan, kondisi ini bisa berujung kepada sakit jasmaniah, seperti sakit perut atau migrain. Kondisi ini juga bisa memengaruhi hubungan dengan rekan kerja. Pada umumnya, kebanyakan orang mampu mengenali ketika seseorang tidak jujur atau sedang menutupi sesuatu. Ini bisa berakibat hilangnya kepercayaan dan merusak culture tempat kerja. Lebih parah lagi, mencoba untuk membohongi diri sendiri atau berpura-pura bisa memunculkan perasaan lanjutan seperti malu, menyalahkan diri, hingga merasa bersalah. Seorang psikolog dari Amerika Serikat yang juga mendirikan klinik psikoterapi Lukin Center mengatakan bahwa yang seharusnya kita lakukan adalah menerima dan mengakuinya. Dengan melakukan ini, kamu bisa mengondisikan diri untuk melalui konflik batin yang sedang terjadi, serta mengurangi intensitasnya. Emosi tidak selalu terbagi menjadi dua (baik atau buruk), namun lebih berperan sebagai pemandu kita dalam menentukan sesuatu. Sebagai contoh, ketika kamu sedih harus berpisah dengan kantor tempatmu berkarier selama beberapa tahun terakhir, itu berarti kamu merasa pengalaman di kantor tersebut sangat berharga. Jika kamu gugup sebelum membawakan presentasi, maka itu bisa berarti kamu peduli dengan keseluruhan materi yang hendak disampaikan. Bagaimana respons kita terhadap orang lain yang sedang mengalami kesulitan juga menarik untuk diamati. Biasanya, kita cenderung mengatakan, "Semuanya akan baik-baik saja," atau, "Lihat sisi positifnya, kamu sebenarnya masih termasuk beruntung." Saya juga cukup sering mengatakan hal-hal tersebut. Saya percaya kebanyakan dari kita punya niat yang baik. Namun mengatakannya tanpa berusaha mengerti terlebih dahulu malah berpotensi menyudutkan orang tersebut. Kita tidak ingin menyepelekan, atau mengatakan bahwa apa yang mereka rasakan adalah salah (invalidating). Niat kita mungkin baik, tapi apa yang mereka rasakan juga adalah hal yang nyata. Setelah mengetahui ini semua, saya berencana untuk menghabiskan 1-3 hari ke depan demi benar-benar memahami apa yang saya rasakan terkait bulan Desember ini. Saya akan belajar untuk menerima dan mengakuinya, karena ini bisa berarti bahwa saya peduli terhadap apa yang terjadi selama 2020. Saya mengambil beberapa keputusan sulit yang berdampak kepada orang lain, dan ini tidak bisa saya lupakan begitu saja. Saya juga akan belajar mengingat ketika rekan-rekan kerja bercerita mengenai kesulitan mereka. Saya ingin mendengarkan dulu, daripada langsung memberi semangat dan motivasi. Saya ingin mereka mengetahui bahwa perasaan mereka adalah nyata dan wajar. Jika kamu seperti saya, maka saya rasa tidak apa-apa untuk menghabiskan beberapa hari dengan perasaan waswas menghadapi 2021, atau bahkan merasa tidak bersemangat meski akan ada masa libur yang cukup panjang di depan mata. Saya sudah merasa sedikit lebih baik sekarang, seiring saya menulis newsletter ini. Saya rasa kamu juga akan merasakan hal yang sama setelah kamu menerima bahwa it is okay to not be okay. Nah, tulisan saya kali ini mungkin terasa seperti pendorong motivasi. Bisa jadi ada benarnya, tapi saya selalu mencari aspek produktivitas dan sains di belakangnya. Jika kamu juga tertarik untuk mendalaminya, kamu bisa membaca beberapa artikel toxic productivity dari sederet sumber yang terpercaya di bawah ini: Terakhir, saya menerima banyak tanggapan positif dan input mengenai newsletter Weekend Produktif. Saya ingin mengucapkan terima kasih atas segala respons tersebut, dan juga terima kasih telah jadi pembaca kami. Tidak semua yang saya kirim di Weekend Produktif sudah saya lakukan seratus persen. Namun seiring saya menulisnya, saya pun kembali mengingat dan belajar untuk menjalaninya. Ini adalah kesempatan yang berharga bagi saya. Sekali lagi, terima kasih. Sampai jumpa minggu depan, dan stay negative! (get it?) 😁 Salam, Hendri Salim CEO Tech in Asia Indonesia | | | |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar