Happy weekend Streight Face, Pernah lihat gambar di atas? Orang-orang yang diminta menebak lingkaran dalam (berwarna gelap) mana yang berukuran lebih besar, rata-rata akan menjawab: - Lingkaran dalam sebelah kanan lebih besar dibanding yang kiri, atau
- Kedua lingkaran dalam sama besarnya.
Yang menjawab dengan jawaban pertama biasanya belum pernah melihat gambar seperti ini sebelumnya. Yang menjawab dengan jawaban kedua, kemungkinan pernah melihat suatu ilusi optik—yaitu Ebbinghaus Illusion. Tapi dalam kasus ini, yang benar adalah jawaban pertama. Ekky dari tim marketing Tech in Asia sengaja menggambar lingkaran dalam sebelah kanan lebih besar 4 px dibanding yang kiri. Bagi kamu yang pernah melihat Ebbinghaus Illusion dan menjawab bahwa kedua lingkaran dalam sama besar, maka kamu sedang mengandalkan pengalamanmu. Namun kasus kali ini menunjukkan bahwa kamu bisa tertipu oleh pengalamanmu sendiri. Pengalaman sering kali menunjukkan jalan yang benar, serta jadi sumber informasi yang tak bisa diabaikan begitu saja. Namun, ungkapan "pengalaman adalah guru terbaik" mungkin perlu ditinjau ulang. Kita sekarang hidup di lingkungan yang sangat kompleks. Pekerjaan social media manager yang terdengar sederhana ternyata butuh proses yang sangat kompleks di belakangnya. Ia harus memikirkan: - Warna apa yang digunakan,
- Berapa besar ukuran teksnya,
- Apa call-to-action yang ingin ditonjolkan,
- Bagaimana performa suatu konten dibanding konten lainnya,
- Apa reaksi dan sentimen dari para follower, serta
- .... puluhan hal lainnya.
Padahal, ini baru sebagian dari pekerjaannya yang berkaitan dengan sebuah gambar di media sosial. Cara yang sama bisa menghasilkan hasil berbeda jika ada terlalu banyak variabel yang memengaruhinya. Pengalaman bahkan bisa menjerumuskanmu bila kamu gagal mengenali secara detail faktor apa saja yang berkontribusi, seperti kasus di atas. Biar saya beri contoh lain. Tempat servis mobil langganan saya punya dua petugas. Pertama kali saya ke sana, saya dilayani oleh petugas A. Ia melayani saya dengan sangat buruk sekali. Beberapa bulan kemudian, saat saya kembali lagi ke sana untuk kedua kalinya—tak ada bengkel lain di dekat rumah—saya menghindari petugas A dengan sengaja, serta mencoba untuk mendapatkan pelayanan dari petugas B. Petugas B masih sibuk melayani orang lain. Saya jadi berpikir, apa saya balik lagi saja nanti? Saya benar-benar tak ingin dilayani petugas A. Sebelum saya sempat beranjak menuju pintu keluar, petugas A melihat saya dan menyapa, "Silakan Pak." Ugh ... saya tak punya pilihan. Secara mengejutkan, petugas A kali ini melayani saya dengan sangat ramah. Ia membantu saya mengatasi masalah dengan luar biasa, lebih dari apa yang saya harapkan. Bisa dibilang, ini adalah salah satu layanan terbaik yang pernah saya terima. Ia bahkan menelepon saya seminggu setelahnya, hanya untuk memastikan apakah masalah pada mobil saya sudah benar-benar hilang setelah kendaraan diservis. Saya tak tahu apa yang terjadi. Bisa saja petugas A sebenarnya memang sangat-sangat ramah. Mungkin ia sedang mengalami hari yang buruk pada kunjungan pertama saya? Pengalaman saya mengatakan petugas A tak ramah, dan saya menggunakan pengalaman itu sebagai dasar pengambilan keputusan. Dalam cerita di atas, saya terpaksa berurusan kembali dengan petugas A. Namun bagaimana jika petugas B bisa melayani saya, dan ternyata kualitas layanannya juga tak lebih baik? Saya akan punya kesimpulan bahwa keduanya tak ramah Pengalaman dan masalahnya Masalah utama dengan pengalaman adalah: kita cenderung memfilter dan membesar-besarkannya di luar proporsi. Apa yang kita ingat dari pengalaman adalah hasilnya. Kita cenderung tak memberikan perhatian lebih pada prosesnya. Sebagai contoh, seorang pelatih sepak bola cenderung merasa strategi X tak efektif melawan tim Y setelah tim yang diasuhnya menderita kekalahan dalam pertandingan. Ketika mereka bertanding kembali di kemudian hari, sang pelatih akan merancang taktik khusus (bukan strategi X) untuk menghadapi tim Y. Apa yang mungkin terlewat dari benak sang pelatih adalah bisa jadi strategi X sebenarnya efektif, tapi ada faktor lain yang memengaruhinya—misalnya salah satu penyerang sedang banyak pikiran pada pertandingan pertama. Jika taktik baru juga tak berhasil, maka sang pelatih bisa mengganti-ganti hingga puluhan strategi lain tanpa hasil yang memuaskan. Padahal tak ada yang salah dengan strategi X. Dalam sebuah percobaan, dua orang yang melakukan hal serupa—proses dan kegiatan sama persis—bisa dipandang berbeda, tergantung hasil masing-masing. Ini menunjukkan bahwa fokus kebanyakan orang adalah kepada output. So what? Coba pikirkan pada kasus berikut. Sebuah pabrik yang sudah terotomatisasi akan menggunakan berbagai macam robot untuk membuat sebuah produk. Robot-robot ini tak punya pikirannya sendiri, sangat presisi, tak kenal lelah, dan tak pernah bosan. Lalu mengapa masih saja ada produk cacat? Ya tentu saja alasannya ada berbagai macam. Prosesnya sudah benar. namun memang terkadang ada faktor-faktor yang tak bisa kita kendalikan seratus persen. Kalau kita bilang prosesnya salah dan tata letak pabrik harus diubah, bayangkan berapa banyak waktu dan uang yang akan dibuang. Padahal hasilnya juga belum tentu baik. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar