Laman

Minggu, 25 April 2021

Kiat memecahkan masalah ala Elon Musk | #WeekendProduktif

#WeekendProduktif
bersama Hendri Salim

Di newsletter harian Tech in Asia Indonesia, kami membuka segmen Surat Pembaca di mana kamu berkesempatan buat mengirimkan cerita, pesan, pertanyaan apa saja untuk Tech in Asia. Surat yang menarik bakal kami masukkan di newsletter untuk dibaca oleh lebih dari 30 ribu pembaca newsletter kami. Layangkan cerita kamu ke sini.
Happy weekend , Streight Face!

Saya suka sains dan fisika, tapi bukan berarti saya familier dengan berbagai formula atau perhitungannya. Saya hanya suka bagaimana sains bekerja. Saya tak keberatan menonton acara tentang sains secara maraton hingga 8 jam. Bahkan, hal itulah yang sesekali saya lakukan di akhir pekan.

Saya cenderung memisahkan kecintaan (dan prinsip-prinsip dasar) sains dengan bisnis. Sampai minggu lalu, bos saya--ya saya juga punya bos--menyebutkan first principles thinking berulang-ulang. Sekarang saya dipenuhi dengan banyak pertanyaan, mengapa saya tak menggunakan prinsip sains lebih banyak dalam kehidupan profesional saya?

Lihat saja Elon Musk yang sudah memulai revolusi mobil listrik, roket, hingga internet untuk seluruh dunia. Musk bahkan tengah berusaha membaca pikiran makhluk hidup lewat teknologi nirkabel--saya tidak bercanda. Ia mengatakan bahwa dirinya mempraktikkan first principles thinking untuk melakukan hal-hal yang kebanyakan orang pikir mustahil.

 

First principles thinking

Singkatnya, ini adalah cara berpikir dengan memulai sesuatu dari akarnya. Kamu harus menemukan prinsip dasar utama yang tak dapat dideduksi lagi. Jika kamu sering menonton acara sains, kamu tahu bahwa kebanyakan penemuan didasarkan pada prinsip ini.

Mari kita lihat sebuah contoh untuk jelasnya.

Salah satu alasan mengapa mobil listrik tidak populer 20 tahun lalu adalah karena harga baterai yang mahal dulu. Bensin masih melimpah dan murah, lalu ngapain susah-susah? Tren ini juga terus berlangsung sampai Tesla hadir.

Dengan menggunakan first principles thinking, Musk mempertanyakan: 

  • Bahan apa yang digunakan untuk membuat baterai,
  • Siapa yang menjual material dasarnya dengan harga termurah, dan
  • Bagaimana proses membuat baterai. 

Ia menemukan bahwa harga rata-rata baterai komersial yang tersedia adalah $600 (Rp8,7 juta) per kWh. Namun dengan membeli semua materialnya sendiri, total harganya hanya mencapai $80 (Rp1,2 juta). Tantangan selanjutnya adalah bagaimana mengombinasikan material ini untuk membuat sebuah baterai, dan tiba-tiba harga baterai jadi jauh lebih murah serta masuk akal.

Ini seperti mengatakan, "Tidak akan ada yang beli mobil, karena orang sudah terbiasa dengan kuda. Ada rumput di mana-mana untuk memberi makan kuda. Memiliki mobil akan repot sekali, karena harus menggunakan bensin, dan tempat pengisian bensin memangnya bisa sebanyak apa sih?"

Secara kontras, saya bisa membayangkan kebanyakan orang yang hendak membuat mobil listrik akan mulai dengan mencari tahu harga baterai, lalu merancangnya berdasarkan harga dan kapasitas baterai tersebut. Ujung-ujungnya harga jadi mahal, dan mereka mengurungkan niat.

Dengan menggunakan first principles thinking, kamu diminta untuk mundur lagi satu langkah dan melihat akarnya. Mengapa baterai mahal? Apa yang dibutuhkan untuk membuat baterai? Siapa penjualnya? 

Dengan menggunakan prinsip pemikiran ini, Musk memutuskan untuk membuat mobil listrik. Yang kita lihat sekarang hanyalah permulaan, sebelum nantinya setiap orang mengganti mobil masing-masing dengan mobil listrik.

Kita lihat contoh kedua.

Mari kita mulai dengan asumsi. Jika kamu ingin situs web milikmu dikunjungi banyak orang, maka situs web kamu perlu SEO (search engine optimization, atau optimisasi mesin pencari) yang bagus. Masuk akal, dan memang faktanya juga demikian. Jadi, kebanyakan pemilik situs web atau blog akan mulai melakukan SEO dan menulis banyak konten, berharap ada konten yang menempati posisi pertama di hasil pencarian.

Jika menggunakan first principles thinking kita harus bertanya, apakah SEO adalah prinsip dasar dari situs web yang berhasil? Karena dengan mengasumsikan hal ini, kamu akan membatasi diri sendiri dan membangun seluruh strategi berdasarkan SEO.

Ada satu media merasa bahwa SEO bukanlah sesuatu yang akan membuatnya berhasil. Mereka menginginkan banyak pengguna, dan sebuah cara yang sudah terbukti ratusan tahun bekerja adalah words of mouth (kabar dari mulut ke mulut). Biarkan pengguna yang menyebarkannya. Mereka bahkan tak perlu memikirkan tentang SEO sama sekali.

Jadi, daripada berfokus kepada SEO dan aspek teknis, media tersebut memikirkan bagaimana cara membuat sebuah konten yang jika dibaca, akan dibagikan ke teman-teman lainnya, lalu teman tersebut melakukan hal yang sama, dan seterusnya. Ini adalah bagaimana BuzzFeed dibangun dengan mengandalkan aspek viral di media sosial.

Catatan: tentu saja hal ini sudah berubah, karena BuzzFeed mengandalkan platform media sosial yang tidak mereka kendalikan. Ketika Facebook memutuskan untuk membatasi konten unggahan dari media atau brand, BuzzFeed terdampak dengan cukup signifikan.

 

First principles thinking dalam kehidupan profesional dan pribadi kamu

Dari dua cerita di atas, kita bisa melihat benang merah bahwa orang-orang sukses memulai dengan bertanya dan mencari tahu secara mendalam ke akar masalahnya. Mereka tak langsung bergerak dengan asumsi yang sudah umum.

Jika kita mundur 10 tahun dan mengamati industri transportasi di kota-kota besar, maka kita bisa melihat taksi di mana-mana. Sang raksasa taksi pun sudah ada di situ dan menguasai. 

Bila ingin masuk ke industri tersebut, maka kita harus bertanya pertanyaan dasarnya. Jangan sampai terjebak dengan asumsi seperti, berarti kita harus membuat perusahaan taksi dengan layanan lebih baik lagi, harga yang lebih bersaing, dan armada yang lebih banyak.

Asumsi ini terjadi karena kita sudah berangkat dari sebuah titik di mana kita memandang perusahaan taksi raksasa sebagai faktor mendasar yang tak terbantahkan. Tapi kita tahu sekarang, bahwa jasa transportasi online sudah jadi kebiasaan baru kita. Kompetisi datang bukan dari perusahaan taksi lainnya, tapi dari sesuatu yang baru namun tetap menyelesaikan masalah yang sama.

Saat kamu sedang mencoba memecahkan masalah selanjutnya, coba lakukan dengan mengikut proses di bawah ini yang saya ambil dari film dokumenter sains luar biasa, Cosmos:

  1. Jangan langsung terima sebuah ide atau anggapan umum sebagai sebuah kebenaran. Pertanyakan ide-ide dasarnya. Bank harus punya banyak cabang? Customer service harus seorang manusia? Harus kuliah 4 tahun untuk bisa coding dan membuat aplikasi? Perusahaan transportasi harus punya armada sendiri?
  2. Pikirkan sendiri. Ada banyak asumsi atau peraturan yang dilimpahkan kepadamu. Jangan langsung masuk mode otomatis untuk mulai membangun di atas asumsi ini. Pikirkan ulang apa konsep paling dasarnya.
  3. Buktikan asumsi. Jika asumsi kamu salah, maka asumsi kamu salah. Terima hal itu
  4. Ikuti ke mana bukti-bukti akan membawa kamu. Jika kamu tak punya bukti, maka tetap netral dan jangan berasumsi.

Mencoba melakukan hal ini dalam tiga hari terakhir saja sebenarnya sudah cukup membuat saya lelah. Ini seperti mempertanyakan semua yang saya pikir saya tahu. Tapi di saat bersamaan, hal ini juga memaksa saya untuk mencari perspektif baru, serta menjaga saya untuk berhati-hati dalam memutuskan atau memulai sesuatu. 

Saya akan menutup newsletter ini dengan dua asumsi umum yang saya temukan sehari-hari yang saya kutip dari artikel bagus ini (must read).
 

Semua ide yang bagus sudah diambil

Saya ingin suatu hari nanti memiliki bisnis audio. Namun sepanjang yang saya amati, semua idenya sudah diambil.

Sudah ada jasa instalasi audio profesional, sudah ada yang menjual sepiker secara online, sudah ada penyedia audio custom, baik untuk rumah, gedung, ataupun mobil. Ini membuat saya mulai memikirkan komoditas lain, tapi apa? Semua yang saya pikirkan sudah ada, dan sudah jelas siapa pemimpin pasarnya.

Tapi lucunya, hal ini juga sudah berlangsung ratusan tahun. Tetap saja setiap tahun selalu ada inovasi baru. Namun tentu saja, memikirkan ide baru secara tiba-tiba adalah hal yang sulit. Itulah mengapa menggunakan first principles thinking akan membantumu melihat dengan lebih jelas akar masalahnya.

 

Kita perlu mulai sekarang, atau kita akan terlambat

Jika kamu pikir sebentar, kebanyakan perusahaan dengan produk pertama di dunia sudah dikalahkan oleh kompetitornya. Ke mana perusahaan yang membuat smartphone pertama di dunia? Radio pertama di dunia? Chatting app? Kamu mengerti maksud saya.

Kebanyakan produk yang bertahan--atau menyalip kompetitornya--adalah produk yang dibuat dengan baik. Para produsen yang masih eksis lebih mementingkan apakah produk mereka memecahkan masalah pengguna atau tidak. 

Saat selanjutnya kamu melihat kompetitor yang sudah merajai pasar selama 10 tahun, lihat masalah utamanya, pecahkan menjadi komponen-komponen kecil, dan cari tahu prinsip dasarnya. Dari sini kamu bisa melihat apakah kamu bisa membuat sesuatu yang lebih baik lagi atau tidak.

Dari tadi kita membicarakan mengenai asumsi yang berasal dari orang lain, bos kamu, atau sebuah asumsi yang sudah diterima secara umum. Tapi banyak juga asumsi ini yang berasal dari diri sendiri, atau bahasa kerennya adalah self imposed restriction

Saya tahu ini karena saya juga sering membatasi diri saya dengan asumsi-asumsi pribadi. Saya tak bisa melakukan A karena B. Faktanya adalah:

  • Saya sendiri yang membuat B,
  • Tak ada yang menghentikan saya untuk melakukannya, selain diri saya sendiri.

Berlatih first principles thinking seminggu terakhir ini membuat saya lebih kritis terhadap diri sendiri. Saya pikir ini juga akan membantumu.

Mulailah berlatih first principles thinking, dan beri tahu saya bagaimana hasilnya. Saya tunggu kabar darimu. Happy weekend!

Salam,
Hendri Salim
CEO Tech in Asia Indonesia

Beberapa berita dan artikel premium minggu ini yang sayang untuk dilewatkan:

  1. Seperti apa sih cara mengelola insight berbeda-beda dari seluruh dunia dalam pengembangan produk? Dilla Anindita Purnawan sebagai Lead Product Manager Cookpad berbagi pengalaman dan kiat pribadinya.
  2. Shopee dan Lazada mulai membangun armada logistik masing-masing. Apa ini artinya mereka bakal tak butuh jasa logistik pihak ketiga lagi di masa depan?
  3. Telkomsel lagi pikir-pikir untuk tambah investasi di Gojek. Tambahan modal tersebut kabarnya bakal disalurkan tahun ini.
  4. Tahukah kamu, sektor fintech di dalam negeri adalah vertikal kedua yang paling sering mendapatkan pendanaan sejak 2019 lalu setelah e-commerce. Ini persyaratan yang harus kamu lengkapi kalau mau berbisnis di sektor ini.
  5. Enggak cuma perlu punya skill mumpuni, kandidat karyawan juga harus punya kecocokan dengan kultur perusahaan. Sederet pemimpin di lingkungan startup lokal punya pertanyaan unik untuk menyaring para kandidat, lho.
Hai, terima kasih sudah membaca email mingguan Weekend Produktif sampai habis. Kamu punya komentar positif untuk tulisan ini? Kamu bisa langsung balas email saya, atau mengisi form Surat Pembaca.

Semua tulisan Weekend Produktif saya bisa kamu temukan di situs web Tech in Asia Indonesia.

Tidak ingin menerima email dari kami lagi? berhenti berlangganan newsletter (kami bakal sedih!)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar