Hai Streight Face, Makin tinggi pohon, makin kencang pula angin yang menerpanya. Pepatah ini tampaknya cukup cocok untuk menggambarkan kondisi Shopee akhir-akhir ini di Indonesia. Marketplace online milik Sea Group ini mendapat perhatian khusus dari warganet Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Beragam isu terkait operasional menerpanya, salah satunya terkait upah kurir Shopee Express yang disebut telah dipotong sepihak oleh Shopee. Minggu ini, kami mewawancara sejumlah mitra kurir Shopee yang mengaku telah dipotong upah pengiriman (🔒) per paketnya. Kami juga mendalami apa yang sebenarnya terjadi dari perspektif pihak-pihak yang terlibat dalam kasus ini. Namun, bukan hal itu yang ingin saya bahas kali ini, melainkan mengapa platform e-commerce besar seperti Shopee repot-repot membangun armada kurir sendiri, padahal ada banyak perusahaan logistik lain yang siap jadi mitra. Tahap terakhir pengiriman barang ke rumah konsumen, atau biasa disebut sebagai last-mile delivery, adalah tahap yang biasanya memiliki jarak terpendek dalam keseluruhan fase pengiriman barang, namun juga yang tersulit. Ada banyak tantangan logistik yang perlu dipecahkan untuk bisa menangani tahap ini dengan baik dan efisien. Beberapa di antaranya meliputi persebaran dan kepadatan rumah konsumen, ketersediaan jumlah kurir dibanding kuantitas dan ukuran paket, hingga penempatan strategis hub logistik yang tersebar untuk menjangkau berbagai sudut daerah. Sering kali, last-mile delivery jadi faktor penentu apakah konsumen bisa mendapatkan barangnya hari ini, atau di lain hari. Seiring faktor kecepatan pengiriman kian jadi salah satu penentu kepuasan konsumen, sebagian pelaku e-commerce menjadikan faktor ini sebagai pembeda dibanding para kompetitornya. Bila mereka bisa menjamin bahwa barang yang dibeli para konsumen bisa tiba secepat mungkin di rumah masing-masing, kepuasan belanja dan loyalitas mereka juga akan meningkat. Setidaknya, raksasa e-commerce Amerika Serikat Amazon telah membuktikan bahwa dengan jaminan barang sampai di keesokan hari berkat layanan Amazon Prime, tingkat retensi dan frekuensi para pelanggannya mengalami peningkatan. Meski cukup efektif dalam meningkatkan retensi, mereplikasi strategi serupa di tempat lain bukan berarti mudah. Karena ini berarti pelaku e-commerce harus memikirkan satu aspek tambahan di luar jual-beli barang/jasa, yaitu ekspedisi yang punya tantangan sama sekali berbeda. Apalagi buat para pelaku e-commerce yang belum lama memulai inisiatif ini. Menentukan status kurir, upah yang optimal, sembari menjaga unit keekonomian dari layanan ekspedisi agar tetap masuk akal di laporan keuangan perusahaan, bakal jadi upaya yang sangat menantang. Upaya para pelaku e-commerce dalam meningkatkan kualitas layanan masing-masing ini perlu diapresiasi, tak terkecuali dalam aspek logistik. Namun, tampaknya masih butuh waktu dan sederet trial & error sampai seluruh pihak yang terlibat di dalamnya bisa mencapai titik temu yang optimal. Talk to you again next week! Salam, Iqbal Kurniawan Editor-in-Chief, Tech in Asia Indonesia P.S. buat para karyawan dan pekerja di luar sana, selamat merayakan hari buruh yang jatuh di esok hari! | | Ulasan dan kabar seputar industri teknologi dan ekosistem startup yang perlu kamu ketahui: - Paparan kinerja perusahaan yang belum lama ini dilaporkan Grab ke pihak pengawas pasar modal Amerika Serikat sebagai syarat untuk melantai di bursa saham menyimpan banyak fakta menarik (🔒). Kami membahas enam di antaranya.
- Nilai valuasi ByteDance, induk perusahaan dari TikTok, bakal jadi perusahaan terbuka dalam waktu dekat dengan nilai valuasi mencapai ribuan triliun rupiah. Bagaimana perusahaan bisa berkembang sebesar itu, meski belum go public? Simak perjalanannya di sini (🔒).
- Kementerian Pariwisata bakal kembali mengadakan program akselerator dan inkubator untuk mendukung perkembangan startup dalam negeri. Berbeda dari kegiatan sebelumnya, program kali ini akan dilangsungkan secara online.
- Desakan untuk melakukan restrukturisasi dari pemerintah Cina diprediksi bakal membuat nilai valuasi Ant Group anjlok. Salah satu perusahaan fintech terbesar di Cina tersebut kini harus tunduk dengan beragam peraturan di layanan keuangan, seperti lembaga perbankan lainnya.
- Meski ikut membantu upaya inklusivitas layanan keuangan, penawaran kredit konsumsi dari penyedia layanan pay later dituduh mempromosikan budaya konsumerisme. Simak ulasan kami selengkapnya di sini (🔒).
| | - Fintech CXO Rountable | 4 Mei 2021
Event terkurasi tempat berkumpulnya para c-level dari industri fintech. Berminat untuk bergabung? Registrasi sekarang di sini. - The Intersection of User Experience with User Security | 6 Mei 2021
Semakin banyak perusahaan yang go digital membuat risiko kejahatan siber turut meningkat. Makanya, penting untuk menyelaraskan pengalaman pengguna dengan keamanan yang baik juga. Simak insight dari para pakar user experience dan cyber security di sini. - Tech in Asia Pitch Night | 22 Juni 2021
Tech in Asia mengundang enam startup dari Asia Tenggara untuk pitching bisnis mereka ke hadapan Charles Ferguson, general manager Globalization Partners. Kamu tertarik untuk mencoba? Daftarkan startup kamu di sini. | | Terima kasih karena kamu sudah baca sampai habis. Newsletter mingguan ini dikirim dengan cinta (dan sedikit kafein) oleh tim Tech in Asia Indonesia. Sampaikan kritik, saran, dan komentar kamu seputar newsletter kami lewat form ini. Jangan sampai ketinggalan berita harian seputar industri startup Indonesia. Simpan email indonesia@techinasia.com ke kontakmu, atau pindahkan email ini ke primary inbox. Tidak ingin menerima semua email dari kami lagi? Kamu bisa berhenti berlangganan newsletter (tentunya kami bakal sedih!) | | | | |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar