Seorang pemimpin—atau siapa pun yang punya kuasa untuk mempromosikan seseorang—memiliki tugasnya sendiri. Ia akan menghabiskan waktunya untuk mengerjakan tugas tersebut dan mencapai target. Ini berarti ia punya lebih sedikit waktu untuk benar-benar mengenal dan memahami karakteristik setiap pribadi secara mendalam. Seorang pemimpin seharusnya melakukan hal sebaliknya, tapi kenyataannya seperti itu. Ketika ada posisi manajer yang kosong, baik itu secara mendadak ataupun tidak, maka pihak pemimpin hanya punya sedikit waktu untuk memutuskan. Sering kali si pemimpin akan mencoba mengingat-ingat pengalamannya berinteraksi dengan si A dan si B. Si A hanya fokus seratus persen terhadap pekerjaannya sendiri. Selain performa pribadi yang tinggi, tak ada hal lain yang menonjol. Sedangkan si B menghabiskan waktu dan tenaga tambahan untuk membangun hubungan yang baik, seperti membantu anggota tim lain, mentoring, terlibat proyek di luar tanggung jawabnya, dan lain-lain. Hal ini membuat si B meninggalkan kesan positif pada lebih banyak orang, termasuk manajemen. Pimpinan perusahaan (PP): Bagaimana dengan si A? Manajer SDM (MSDM): Sangat rajin, Pak. Ia selalu tepat waktu mengerjakan tugas dan jarang ada bug. Tapi, jujur saja, saya tidak tahu bagaimana kemampuannya memimpin atau berinteraksi dengan orang lain. Walau saya tak pernah mendengar ada yang komplain mengenai si A, tapi saya juga tak pernah mendengar rekomendasi mengenai si A dari rekan-rekannya. PP: Si B? MSDM: Orangnya cukup initiatif, Pak. Kemarin ia membantu proyek di luar tanggung jawabnya, serta bersedia jadi mentor untuk para fresh graduate. Beberapa orang mengaku terbantu oleh si B. PP: Kalau performanya? MSDM: Tidak sebagus si A sih, Pak. Tapi juga tidak buruk. Di titik ini, pihak SDM dan pimpinan perusahaan juga sudah tahu harus memilih yang mana dalam pikiran bawah sadar mereka. Si A mungkin tetap bisa jadi pemimpin yang sama baiknya. Namun karena tak ada contohnya, maka tak ada cara bagi manajer SDM atau pemimpin tersebut untuk mengetahuinya. Tentu saja, cerita di atas tak berlaku buat semua perusahaan. Tapi kamu akan terkejut dengan seberapa sering hal ini terjadi. Jadi, sekali lagi, sebuah promosi atau tanggung jawab yang besar terjadi bukan hanya karena skill, tapi juga hubungan kamu dengan orang lain. Untuk membantu kamu membangun hubungan yang positif, berikut lima cara yang bisa kamu terapkan mulai minggu depan. Saya mengambil kelima tip tersebut dari tulisan yang bagus ini. Bantu orang lain dengan keterampilan yang kamu punya. Setiap orang punya keterampilan berbeda-beda. Saya mungkin lebih fasih dengan spreadsheet, kamu mungkin sepuluh kali lebih baik daripada saya dalam hal lain. Ketika kamu sudah bisa mengenali apa yang jadi keahlianmu, jangan ragu untuk menawarkan hal tersebut kepada orang di sekitarmu. Tentu saja dengan niat yang tulus, bukan pencitraan semata. Saya mungkin pernah membagikan ini. Dulu sebelum bergabung dengan Tech in Asia Indonesia, saya adalah seorang konsultan di bidang manajemen SDM. Jika sedang ada proyek, saya kerja seperti tidak ada hari esok. Jika sedang tak ada proyek, saya pun bisa makan gaji buta 1-2 bulan dari kantor, tak tahu harus bekerja apa. Suatu hari karena sudah sangat bosan, saya mendatangi divisi lain dan bertanya apa yang saya bisa bantu. Team leader di sana mengatakan, "Tak ada." Rata-rata pekerjaan di sana butuh pengetahuan teknis, dan saya dari tim yang sangat berbeda. Okay, fair enough. Namun saya terus memaksa karena sudah sangat bosan. Saya bahkan bilang mau membantu membersihkan data jika perlu. "Kamu yakin?" tanya si team leader. "Saya biasanya meminta fresh graduate untuk melakukan pekerjaan ini." Saya bilang tentu saja (saya sudah bosan setengah mati). Singkat cerita, saya membantu tim lain membersihkan data dan mengolah spreadsheet yang berisi jutaan baris data. Saya menghabiskan waktu satu minggu untuk menyelesaikannya (sebagian besar menunggu script VBA yang saya buat untuk mengolahnya), lalu mengembalikan data tersebut ke si team leader. Team leader itu terkejut, karena biasanya pekerjaan pembersihan data ini butuh waktu satu bulan. Saya pun diminta melakukan training spreadsheet ke timnya, yang saya sanggupi dengan senang hati (sekali lagi, saya sudah magabut enam minggu di titik ini). Dua tahun kemudian, team leader di divisi saya mengundurkan diri dari perusahaan. Perusahaan memutuskan untuk mengangkat saya jadi penggantinya daripada merekrut leader baru dari pihak eksternal. Saya baru tahu setelahnya bahwa team leader dari divisi sebelah yang dulu saya bantu ikut merekomendasikan saya, karena ia merasa saya adalah seorang team player. Yang menarik adalah, saya membantu team leader tersebut hanya satu kali saja. Itu pun sudah berlalu dua tahun sebelumnya (karena setelah kejadian tersebut, saya sudah punya proyek sendiri. Hore). Tapi tampaknya peristiwa itu sangat membekas untuknya, dan ternyata juga berdampak baik buat saya sendiri. Saya Kami Sesekali, saya menerima email yang dikirimkan oleh salah satu dari kamu--pembaca Weekend Produktif--yang menyampaikan betapa senangnya membaca newsletter ini. Saya selalu tersenyum ketika membaca email seperti ini. Saya merasa bangga dan puas. Tapi sebenarnya, newsletter sederhana seperti ini membutuhkan bantuan dari dua orang lainnya: - Iqbal (editor) yang tak lelah mengedit, dan
- Ekky (marketing) yang melakukan penjadwalan, membuat judul yang menarik, serta memastikan newsletter terkirim ke semua orang yang jadi pelanggan.
Bahkan, sering sekali mereka melakukan itu di akhir pekan karena saya baru bisa menyelesaikannya pada Jumat tengah malam (thank you, Iqbal dan Ekky!). Jadi ketika saya menerima email dari seorang investor yang mengatakan bahwa Weekend Produktif adalah sesuatu yang ia selalu tunggu, maka saya balas dengan, "Terima kasih, kami akan terus mengusahakan yang terbaik." Saya tahu benar bahwa sebuah newsletter sederhana seperti ini butuh bantuan dua orang lainnya. Apa yang saya coba katakan adalah, jika kamu masih merasa sering berkata "saya" di berbagai rapat, email, atau presentasi, maka kamu mungkin sedang jadi lone wolf (penyendiri). Kamu mungkin yang terbaik, tapi jarang sekali manajemen mengangkat seorang lone wolf untuk jadi pemimpin. Libatkan lebih banyak orang, atau sebaliknya, terlibatlah dalam lebih banyak inisiatif. Berikan kredit yang sesuai kepada orang-orang yang membantumu. Berlatih jadi pembantu Jabatan pemimpin secara sekilas mungkin terdengar sebagai posisi yang kerjaannya menyuruh-nyuruh orang lain. Ada benarnya. Namun sesungguhnya, seorang pemimpin yang efektif biasanya menghabiskan sebagian besar waktunya membantu anggota tim untuk mencapai target. Ini berarti untuk melatih keterampilan memimpin, kamu tak perlu jadi pemimpin. Kamu hanya perlu membantu orang lain. Sebagai contoh, jika kamu sudah punya lebih banyak pengalaman, kamu bisa jadi mentor bagi para fresh graduate yang baru bergabung ke dalam tim. Ini akan membantu mereka beradaptasi, serta melatih dirimu untuk mengasah keterampilan memimpin. Jangan hindari orang yang menyulitkan/menyebalkan Ketika kamu nanti jadi pemimpin, maka kamu akan punya kekuasaan lebih besar. Anggota tim kamu bakal kurang lebih mengikuti arahanmu. Ini tak berarti semua orang akan manggut-manggut saja. Akan ada anggota tim yang sulit untuk diajak kerja sama. Jika ini belum cukup buat kamu frustrasi, maka tenang, akan ada pemimpin divisi lain yang lebih menyebalkan lagi 😅. Apa yang kamu inginkan adalah memiliki keahlian untuk bisa bekerja sama dengan orang-orang yang "menyulitkan" ini. Sebaiknya kamu mulai latihan dari sekarang. Biar saya tebak, kamu baru saja memikirkan orang tersebut. Jika biasanya kamu menghindari orang-orang seperti ini, maka kamu bisa mulai memandangnya dari cara lain. Bagaimana saya bisa terhubung dengan orang-orang tersebut dan bekerja sama dengan positif? Di satu sisi, ini akan melatih keahlianmu bekerja sama dengan orang-orang yang sulit (yang juga anehnya pasti selalu ada). Di sisi lain, ini bisa jadi portofolio kamu untuk dipertimbangkan pihak manajemen. Hal-hal seperti ini tidak luput dari pengamatan mereka. Ikut lebih banyak inisiatif kantor Acara kantor, seperti office party atau team bonding, boleh kamu ikuti (dan memang sebaiknya kamu ikuti). Namun yang saya bicarakan di sini adalah sesuatu yang lebih strategis. Misalnya jika ada sebuah proyek baru dan dibutuhkan relawan untuk menjalankannya, maka kamu bisa mengajukan diri. Terlibatlah dalam lebih banyak inisiatif kantor yang bersifat strategis dan bisnis, bukan hanya office party atau office gathering. Beri diri kamu kesempatan untuk dikenal secara positif. Saya kebetulan punya pengalaman tersendiri mengenai hal ini. Dulu kantor saya sedang mempertimbangkan untuk membawa masuk sebuah software dari luar negeri untuk dijual kembali di Indonesia. Pihak penerbit software menyelenggarakan presentasi di kantor, perusahaan meminta relawan untuk mengikuti pemaparan yang berlangsung seharian ini. Tak ada yang mendaftar, kecuali manajer-manajer level atas. Sebagian besar teman-teman saya malah sudah membicarakan mau makan siang apa nantinya. Akhirnya saya memutuskan untuk ikut sendirian, karena tak ada teman lain yang mau ikut. Pemaparan sudah berlangsung tiga puluh menit, dan saya baru akan masuk ke ruang presentasi. Saya buka pintu pelan-pelan. Tiba-tiba semua yang di dalam ruangan—manajer, vice president, hingga direktur—melihat saya sambil diam. Saya pun tertegun di depan pintu yang setengah terbuka, sampai salah satu vice president bilang, "Ayo masuk." Saya masuk, duduk diam di ujung ruangan sampai pukul 5 sore. Setelah rapat selesai dan ruangan mulai kosong, sang direktur melihat saya dan bertanya, "Bagaimana menurut kamu?" Saya berharap punya jawaban pintar yang akan memukau sang direktur, tapi tak ada yang saya mengerti. Saya bilang, "Jujur saja, Pak. Kalau saya disuruh jualan software itu ke klien, saya tak tahu bagaimana menjelaskannya dengan mudah, karena saya juga tidak terlalu mengerti." Dia hanya tertawa, menanyakan nama saya, lalu berjalan keluar ruangan. Tak ada cerita ajaib setelah ini. Namun setidaknya setiap kali saya berpapasan dengannya, baik itu di lift atau di koridor kantor, beliau akan menyapa balik sambil menyebut nama saya. Ada satu direktur yang tahu nama saya di perusahaan dengan jumlah karyawan sebanyak 350 orang! Beliau juga jadi direktur yang memutuskan saya jadi team leader, ketimbang merekrut dari pihak eksternal perusahaan. Hal-hal kecil yang dirasa tak berdampak ternyata membantu saya dalam jangka panjang. Jadi coba lakukan hal-hal positif seperti ini, dan kamu akan berterima kasih kepada dirimu sendiri kelak. Itu saja yang saya punya minggu ini, sampai jumpa minggu depan! Salam, Hendri Salim CEO Tech in Asia Indonesia |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar