Hai Streight Face, Awal minggu ini, situs web Tech in Asia Indonesia tiba-tiba mengalami lonjakan traffic. Jumlah pembaca yang mengunjungi laman kami melonjak lebih dari lima kali lipat. Tim produk kami pun langsung memantau kapasitas dan kekuatan jaringan, berjaga-jaga bila sistem tak mampu menangani peningkatan pengunjung yang datang tiba-tiba. Semua ini terjadi karena kami menerbitkan satu artikel yang menarik minat banyak pembaca, yaitu pembahasan urgensi peningkatan status ojek online/gig worker untuk jadi karyawan (π). Jurnalis kami, Gilang, tertarik untuk membahas topik ini setelah menyaksikan rangkaian peristiwa yang terjadi di beberapa negara Eropa. Di sana, serikat pekerja Uber dan sejumlah gig worker lain menggugat badan ketenagakerjaan negara masing-masing untuk memaksa para perusahaan teknologi agar menaikkan status para "mitra" bisnisnya dari pekerja lepas jadi karyawan. Perjuangan itu membuahkan hasil. Sejumlah negara, seperti Inggris dan Spanyol, mulai menerapkan aturan bahwa para penyedia layanan diharuskan untuk mengklasifikasikan para mitranya sebagai karyawan. Ini berarti para gig worker akan berhak mendapatkan sederet benefit layaknya karyawan, seperti cuti yang dibayar, tunjangan kesehatan, dan sebagainya. Tuntutan gig worker seperti ini tidak berlaku eksklusif di Eropa saja. Indonesia pun, dengan keberadaan ojek online sebagai tenaga gig worker yang tersebar di kota-kota seantero nusantara, juga memperjuangkan hal mirip: perbaikan nasib. Tentunya mereka bakal senang kan bila aturan serupa diberlakukan di Indonesia? Ternyata, jawabannya bakal berbeda tergantung kepada siapa kamu bertanya. Meski seluruh sopir ojek yang kami temui menyambut baik inisiatif yang bakal meningkatkan kesejahteraan masing-masing, namun tak semuanya menghendaki untuk jadi karyawan dari perusahaan transportasi online. Bagi yang menggeluti profesi ojek sebagai pekerjaan sampingan, fleksibilitas kerja masih jadi poin penting yang dikehendaki. Yang sepenuhnya menggantungkan nasib menjadi ojek pun tak serta-merta menghendaki diangkat jadi karyawan. Tak hanya mewawancarai para sopir ojek, kami pun berdiskusi dengan berbagai pihak yang terlibat langsung dalam diskusi tentang status mitra ojek online, hingga meminta tanggapan langsung dari para penyedia aplikasi untuk mendengarkan sudut pandang dari semua pihak yang terlibat. Pertanyaan-pertanyaan sulit inilah yang hendak terus kami berikan kepada para pelaku industri. Tak hanya sekadar membahas apa yang sedang tren saja, kami juga berupaya untuk mengupas berbagai permasalahan nyata yang ada di masyarakat, yang sudah jadi rahasia umum, namun hanya segelintir saja yang mau membahasnya. Ini akan jadi visi dari editorial Tech in Asia Indonesia di 2021. Kami sadar bahwa jurnalisme seperti ini bakal membutuhkan upaya besar dan waktu yang tak sedikit. Namun, kami percaya ini akan jadi cara dalam melayani para pembaca setia kami yang menghargai pemberitaan berimbang dan berkualitas. Bila kamu menyukai konten-konten seperti ini di Tech in Asia Indonesia, kamu bisa mendukung kami dengan mencoba jadi pelanggan Tech in Asia ID+ untuk bisa membaca infografik tersebut selengkapnya. Dukungan kamu sangat berarti bagi kami. Talk to you again next week! Salam, Iqbal Kurniawan Editor-in-Chief, Tech in Asia Indonesia | | Ulasan dan kabar seputar industri teknologi dan ekosistem startup yang perlu kamu ketahui: - Bukan hanya sekadar ikut-ikutan tren yang sedang berlangsung, ada hal-hal lain yang bisa diraih Grab bila dekakorn Asia Tenggara itu bisa go public secepatnya (π).
- Potensi pasar kecantikan di Indonesia diperkirakan bakal mencapai Rp120 triliun di 2022 nanti, tapi seperti apa kondisinya saat ini? Kami telah menghimpun sederet fakta (π) yang bakal membantumu memahami peluang startup kecantikan sekarang.
- Bukan Gojek, Tokopedia, atau Traveloka, perusahaan lokal ini malah duluan melantai di bursa saham luar negeri lewat jalur merger dengan SPAC.
- Startup social commerce asal India, Meesho, menutup operasionalnya di Indonesia. Ada apa?
- Cina dikenal sebagai negara penghasil barang-barang elektronik terbesar di dunia, tapi perusahaan asal India menantang dominasi negeri tirai bambu (π).
| | - PDC'21 Virtual | 7-8 April 2021
Temukan tip praktis dari 20+ expert di bidang pengembangan produk hingga kesempatan networking dengan para pemimpin industri teknologi. Pesan tiket hanya Rp350 ribu. | | Terima kasih karena kamu sudah baca sampai habis. Newsletter mingguan ini dikirim dengan cinta (dan sedikit kafein) oleh tim Tech in Asia Indonesia. Sampaikan kritik, saran, dan komentar kamu seputar newsletter kami lewat form ini. Jangan sampai ketinggalan berita harian seputar industri startup Indonesia. Simpan email indonesia@techinasia.com ke kontakmu, atau pindahkan email ini ke primary inbox. Tidak ingin menerima semua email dari kami lagi? Kamu bisa berhenti berlangganan newsletter (tentunya kami bakal sedih!) | | | | |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar