Laman

Minggu, 02 Mei 2021

Mengapa kita (selalu) mengambil keputusan yang buruk | #WeekendProduktif

#WeekendProduktif
bersama Hendri Salim

Mau suratmu dibaca oleh lebih dari 30 ribu pembaca newsletter Tech in Asia Indonesia? Kirim pesan singktmu—baik dalam bentuk pertanyaan, saran, kritik, cerita dan lain-lain—di sini.
Happy weekend , Streight Face!

Jadi ceritanya kamu sedang di bioskop, dengan selembar Rp50.000 di dompet dan sebuah tiket bioskop (seharga Rp50.000/tiket) di genggaman. Saat hendak memasuki ruangan teater untuk menonton film, kamu menyadari bahwa tiket milikmu hilang. Jangan-jangan hilang waktu pergi ke toilet lima menit lalu?

Pertanyaannya adalah, apa kamu beli lagi tiket lagi dengan selembar Rp50.000 terakhirmu? 

Kebanyakan orang dalam survei mengatakan "tidak".

Nah sekarang kita ubah sedikit ceritanya. Kamu sedang berada di bioskop dengan dua lembar Rp.50.000 dalam dompet. Kamu langsung pergi ke toilet sebentar begitu sampai di gedung bioskop. Saat hendak membeli tiket kemudian, kamu menyadari bahwa selembar Rp50.000 milikmu hilang.

Apakah kamu akan tetap menonton?

Kebanyakan orang mengatakan "ya", karena tujuan awalnya adalah menonton. Uang hilang ya perkara berbeda.

Tapi sebenarnya tak ada bedanya, bukan?

Kamu tetap kehilangan sesuatu yang bernilai Rp50.000. Satu dalam bentuk tiket, satu dalam bentuk uang. Namun terlepas dari nilai yang sama persis, kebanyakan orang tak akan membeli tiket lagi.

Ini terjadi karena kebanyakan dari kita tak ingin membeli tiket dua kali. Di titik ini, sebuah tiket terasa seperti Rp100.000, dan itu terlalu mahal untuk sebuah tiket bioskop.

Mau dengar cerita lain? Saya punya studi kasus kedua.

Ada sebuah undian yang diikuti oleh 9 orang. Kamu ditawarkan untuk ikut bermain agar jumlah pesertanya genap jadi 10. Cukup bayar Rp50.000, dan kamu berkesempatan untuk memenangkan Rp500.000. Ini berarti kamu adalah 1 dari 10 orang yang berkesempatan untuk memenangkan hadiah tersebut.

Apa kamu akan ikut bermain?

Kebanyakan orang akan berani untuk mengambil kesempatan tersebut.

Kita ubah sedikit skenario di atas. Daripada 9 orang, kamu hanya akan melawan 1 orang. Orang tersebut punya 9 tiket undian, dan kamu hanya bisa beli 1 tiket saja.

Apa kamu akan ikut bermain?

Kebanyakan orang tak akan ikut, karena merasa orang dengan 9 tiket tersebut sudah pasti menang.

Kenyataannya adalah, kemungkinan kamu untuk menang tetap sama, yaitu 1/10. Kita secara alami berpikir bahwa jika ada 9 orang lain, maka semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk menang (termasuk kamu). Namun begitu ada 1 orang dengan 9 tiket, kamu tiba-tiba merasa kesempatan menang jadi kecil sekali.

Ini adalah fakta bagaimana otak dan persepsi kita bekerja.

Cerita-cerita di atas adalah contoh bagaimana kita manusia cenderung memiliki kelemahan dalam dua hal:

  • Memprediksi kemungkinan terjadinya sesuatu (odds of gain), dan
  • Memperkirakan nilai dari suatu hal.

Padahal dua faktor ini adalah faktor utama dalam menentukan sebuah hasil, yang dapat diekspresikan dalam formula: Hasil = Kemungkinan Terjadi x Besar Nilainya.

Biar saya beri angka untuk memberi perspektif yang lebih jelas. Bayar saya Rp10.000, dan kamu berkesempatan untuk main tebak koin (kepala atau ekor). Jika hasilnya ekor, saya akan beri kamu Rp50.000.

Dengan formula di atas, maka kita bisa menuliskan seperti ini 25.000 (hasil) = 50% (kemungkinan terjadi) x 50.000 (besaran nilai). Ingat, kamu hanya cukup membayar Rp10.000 yang mana lebih kecil dari hasil. Menurut prinsip Bernoulli, kamu akan disarankan untuk mengambil kesempatan ini.

Prinsip ini kita gunakan sehari-hari, baik dalam keputusan membuka bisnis baru, membuat fitur baru, melakukan pivot, sampai dengan memperluas layanan ke target pengguna baru. Sejarah membuktikan kita cukup buruk dalam memprediksi kemungkinan terjadi dan mengira nilai dari sesuatu.

Dan Gilbert, seorang psikolog dari Harvard, mengatakan bahwa kita cenderung mengambil keputusan yang buruk karena:

  • Kita cenderung membesar-besarkan sebuah kemungkinan, karena itulah yang pertama kali kita pikirkan

Sebagai contoh, di tahun 2018 lalu terdapat 2.426 bencana alam di Indonesia. Menurut kamu, berapa jumlah korban jiwa dari seluruh bencana tersebut? Biar saya beri tahu, 4.231 jiwa. 

Bandingkan dengan jumlah orang yang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas selama 2018. Totalnya mencapai 27.910 jiwa.

Kebanyakan dari kita menduga bahwa 2.426 bencana alam akan memiliki lebih banyak korban jiwa, karena pemberitaan mengenai bencana ini kita temui hampir setiap minggu sepanjang tahun.

  • Kita membandingkan sebuah nilai dengan masa lalu

Seperti kasus tiket bioskop di atas. Pengambilan keputusan jadi berbeda karena konteks perbandingan (saya tak ingin beli tiket dua kali). Padahal bila ditinjau dari nilai yang hilang, keduanya sama persis.

  • Kita membandingkan dengan apa yang mungkin

Dalam sebuah percobaan sederhana, para responden diminta untuk menilai keripik kentang yang mereka makan. Sebelum memakan keripik tersebut, sebagian responden sengaja diperlihatkan coklat mewah, dan sebagian lainnya sengaja diperlihatkan sekaleng kornet.

Responden yang sudah melihat coklat mewah cenderung memberi nilai lebih kecil untuk keripik yang mereka makan. Mereka membandingkannya dengan coklat mewah, ketimbang keripik kentang sederhana yang mereka akan makan.

Apa yang sudah saya sampaikan dari tadi adalah manusia cenderung mengambil keputusan yang buruk karena dua faktor utama ini. Jika ini belum cukup jelas, maka selanjutnya kamu harus mengambil keputusan yang berhubungan dengan odds dan gain, ingat kasus di atas.

Berhenti sebentar, dan lihat secara objektif. Apakah keputusan atau perkiraan kamu sedang dipengaruhi oleh masa lalu, atau mungkin ingatanmu (yang tidak sepenuhnya akurat)? Apakah kamu sudah mengurai masalahnya sampai ke tingkat mendasar dan membandingkan dengan pilihan lain? 

Kamu bisa menonton video ini untuk melihat lebih banyak contoh bagaimana buruknya kemampuan kita dalam melakukan prediksi dan apresiasi.

Happy weekend!

Salam,
Hendri Salim
CEO Tech in Asia Indonesia

Sebagai penutup, simak ulasan dan kabar seputar industri teknologi dan ekosistem startup yang mungkin kamu lewatkan selama satu pekan ke belakang:
  1. Paparan kinerja perusahaan yang belum lama ini dilaporkan Grab ke pihak pengawas pasar modal Amerika Serikat sebagai syarat untuk melantai di bursa saham menyimpan banyak fakta menarik (🔒). Kami membahas enam di antaranya.
  2. Nilai valuasi ByteDance, induk perusahaan dari TikTok, bakal jadi perusahaan terbuka dalam waktu dekat dengan nilai valuasi mencapai ribuan triliun rupiah. Bagaimana perusahaan bisa berkembang sebesar itu, meski belum go public? Simak perjalanannya di sini (🔒).
  3. Kementerian Pariwisata bakal kembali mengadakan program akselerator dan inkubator untuk mendukung perkembangan startup dalam negeri. Berbeda dari kegiatan sebelumnya, program kali ini akan dilangsungkan secara online.
  4. Desakan untuk melakukan restrukturisasi dari pemerintah Cina diprediksi bakal membuat nilai valuasi Ant Group anjlok. Salah satu perusahaan fintech terbesar di Cina tersebut kini harus tunduk dengan beragam peraturan di layanan keuangan, seperti lembaga perbankan lainnya.
  5. Meski ikut membantu upaya inklusivitas layanan keuangan, penawaran kredit konsumsi dari penyedia layanan pay later dituduh mempromosikan budaya konsumerisme. Simak ulasan kami selengkapnya di sini (🔒).
Hai, terima kasih sudah membaca email mingguan Weekend Produktif sampai habis. Kamu punya komentar positif untuk tulisan ini? Kamu bisa langsung balas email saya, atau mengisi form Surat Pembaca.

Semua tulisan Weekend Produktif saya bisa kamu temukan di situs web Tech in Asia Indonesia.

Tidak ingin menerima email dari kami lagi? berhenti berlangganan newsletter (kami bakal sedih!)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar