Ada sebuah undian yang diikuti oleh 9 orang. Kamu ditawarkan untuk ikut bermain agar jumlah pesertanya genap jadi 10. Cukup bayar Rp50.000, dan kamu berkesempatan untuk memenangkan Rp500.000. Ini berarti kamu adalah 1 dari 10 orang yang berkesempatan untuk memenangkan hadiah tersebut. Apa kamu akan ikut bermain? Kebanyakan orang akan berani untuk mengambil kesempatan tersebut. Kita ubah sedikit skenario di atas. Daripada 9 orang, kamu hanya akan melawan 1 orang. Orang tersebut punya 9 tiket undian, dan kamu hanya bisa beli 1 tiket saja. Apa kamu akan ikut bermain? Kebanyakan orang tak akan ikut, karena merasa orang dengan 9 tiket tersebut sudah pasti menang. Kenyataannya adalah, kemungkinan kamu untuk menang tetap sama, yaitu 1/10. Kita secara alami berpikir bahwa jika ada 9 orang lain, maka semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk menang (termasuk kamu). Namun begitu ada 1 orang dengan 9 tiket, kamu tiba-tiba merasa kesempatan menang jadi kecil sekali. Ini adalah fakta bagaimana otak dan persepsi kita bekerja. Cerita-cerita di atas adalah contoh bagaimana kita manusia cenderung memiliki kelemahan dalam dua hal: - Memprediksi kemungkinan terjadinya sesuatu (odds of gain), dan
- Memperkirakan nilai dari suatu hal.
Padahal dua faktor ini adalah faktor utama dalam menentukan sebuah hasil, yang dapat diekspresikan dalam formula: Hasil = Kemungkinan Terjadi x Besar Nilainya. Biar saya beri angka untuk memberi perspektif yang lebih jelas. Bayar saya Rp10.000, dan kamu berkesempatan untuk main tebak koin (kepala atau ekor). Jika hasilnya ekor, saya akan beri kamu Rp50.000. Dengan formula di atas, maka kita bisa menuliskan seperti ini 25.000 (hasil) = 50% (kemungkinan terjadi) x 50.000 (besaran nilai). Ingat, kamu hanya cukup membayar Rp10.000 yang mana lebih kecil dari hasil. Menurut prinsip Bernoulli, kamu akan disarankan untuk mengambil kesempatan ini. Prinsip ini kita gunakan sehari-hari, baik dalam keputusan membuka bisnis baru, membuat fitur baru, melakukan pivot, sampai dengan memperluas layanan ke target pengguna baru. Sejarah membuktikan kita cukup buruk dalam memprediksi kemungkinan terjadi dan mengira nilai dari sesuatu. Dan Gilbert, seorang psikolog dari Harvard, mengatakan bahwa kita cenderung mengambil keputusan yang buruk karena: - Kita cenderung membesar-besarkan sebuah kemungkinan, karena itulah yang pertama kali kita pikirkan
Sebagai contoh, di tahun 2018 lalu terdapat 2.426 bencana alam di Indonesia. Menurut kamu, berapa jumlah korban jiwa dari seluruh bencana tersebut? Biar saya beri tahu, 4.231 jiwa. Bandingkan dengan jumlah orang yang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas selama 2018. Totalnya mencapai 27.910 jiwa. Kebanyakan dari kita menduga bahwa 2.426 bencana alam akan memiliki lebih banyak korban jiwa, karena pemberitaan mengenai bencana ini kita temui hampir setiap minggu sepanjang tahun. - Kita membandingkan sebuah nilai dengan masa lalu
Seperti kasus tiket bioskop di atas. Pengambilan keputusan jadi berbeda karena konteks perbandingan (saya tak ingin beli tiket dua kali). Padahal bila ditinjau dari nilai yang hilang, keduanya sama persis. - Kita membandingkan dengan apa yang mungkin
Dalam sebuah percobaan sederhana, para responden diminta untuk menilai keripik kentang yang mereka makan. Sebelum memakan keripik tersebut, sebagian responden sengaja diperlihatkan coklat mewah, dan sebagian lainnya sengaja diperlihatkan sekaleng kornet. Responden yang sudah melihat coklat mewah cenderung memberi nilai lebih kecil untuk keripik yang mereka makan. Mereka membandingkannya dengan coklat mewah, ketimbang keripik kentang sederhana yang mereka akan makan. Apa yang sudah saya sampaikan dari tadi adalah manusia cenderung mengambil keputusan yang buruk karena dua faktor utama ini. Jika ini belum cukup jelas, maka selanjutnya kamu harus mengambil keputusan yang berhubungan dengan odds dan gain, ingat kasus di atas. Berhenti sebentar, dan lihat secara objektif. Apakah keputusan atau perkiraan kamu sedang dipengaruhi oleh masa lalu, atau mungkin ingatanmu (yang tidak sepenuhnya akurat)? Apakah kamu sudah mengurai masalahnya sampai ke tingkat mendasar dan membandingkan dengan pilihan lain? Kamu bisa menonton video ini untuk melihat lebih banyak contoh bagaimana buruknya kemampuan kita dalam melakukan prediksi dan apresiasi. Happy weekend! Salam, Hendri Salim CEO Tech in Asia Indonesia |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar